SALAM BUDAYA, SATU LAGI CERPEN KARYA YESUDHAS
"SEBUAH TELEGRAM"
Karya : Yesudhas
“Ada masalah apa? Kamu sakit?” Mama mencoba mengusik kebisuan Dika. Tapi Dika Cuma menggelengkan kepala. Sesekali tatapan matanya tajam ke arah kedua orang tuanya, seakan menyelidiki. Tapi tak sedikitpun ada sesuatu yang lain dari mereka. Semuanya tampak wajar. Ah mungkin tidak ada apapun yang menarik dari telegram itu, berkali-kali Dika berusaha menepis. Tapi justru perasaan penasaran semakin kuat berkecamuk dalam benaknya.
Dika melanjutkan menyantap makan malam dengan malas. Pikirannya masih berputar-putar pada isi telegram yang dia baca tadi siang. Dia berharap, malam ini akan terpecahkan segala pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Tapi sampai makanan di piringnya habis, belum juga harapan itu terpenuhi. Pastilah kedua orang tuanya telah membaca juga. Tapi mengapa tak sedikitpun mereka menyinggung tentang masalah telegram yang diterima. Pembicaraan saat makan malam tetap saja seperti biasa. Keluarga Dika selalu membahas berbagai hal saat makan malam, dan malam ini Dika tidak bersemangat.
“Biasanya engkau paling cerewet menceritakan kegiatan yang telah terlewat dalam sehari.” Papa tersenyum menggoda. Yah, biasanya memang Dika yang paling berapi-api ngomong. Tapi malam ini dia tak punya ide, tiba-tiba tak punya bahan sedikitpun untuk diceritakan. Ingin dia menanyakan tentang telegram itu, tapi keberaniannya mendadak lenyap. Ada sesuatu yang disembunyikan orang tuanya, sesuatu yang membuatnya sangat penasaran.
Sebenarnya dia tak perlu merasakan kegelisahan seperti itu, seandainya siang tadi tidak membaca telegram yang diterimanya dari seorang tukang pos. Telegram itu ditujukan untuk Papa dan Mamanya. Walaupun bukan kebiasaan dia mencampuri urusan orang tua, tapi rasa penasaran dalam hatinya terlalu kuat, akhirnya dengan hati-hati dia membuka amplop telegram tersebut, lalu membacanya. Entah dorongan apa yang membuat dia bertingkah seperti itu.
Malam belum larut benar, Dika telah rebah di atas kasur. Dia tak menghiraukan ketika papa mengajak menonton siarang langsung pertandingan bola di televisi. Bahkan ketika papa mengingatkan bahwa salah satu kesebelasan adalah favoritnya, Dika cuma mengangkat pundak. Pikirannya tetap berkutat pada isi telegram. Kini, matanya menerawang ke langit-langit kamar, seakan ingin menembus menuju bintang-bintang. Dia bertekad untuk menyibak teka-teki yang saat ini memenuhi isi otaknya.
“Hari minggu nanti aku harus ke sana. Memastikan maksud yang terkandung dalam telegram.” Berkali-kali Dika mengucapkan niatnya itu. Lebih untuk dirinya sendiri, agar perasaanya menjadi tenang dan dapat segera pulas. Sedang malam semakin larut, mendung hitam telah meneteskan air yang semakin lama semakin deras.
***
Tarju tampak gelisah di kursinya. Dengan keras dia menghembuskan asap rokok dari mulutnya yang telah keriput.
Rukmi, istrinya datang sambil membawa nampan berisi secangkir kopi dan ketela goreng yang masih hangat. Perlahan dia meletakkan di atas meja. Harum kopi serta ketela menyatu dengan bau cerutu, hingga memenuhi ruang tamu.
“Sudah hampir satu minggu, tapi mereka belum juga datang.” Kata Tarju. Sejenak laki-laki berumur 60 tahun itu menghisap rokok cerutu.
“Mungkin masih sibuk. Kata utusan yang datang kemarin, mereka akan mengusahakan untuk datang.” Rukmi menjawab. Tapi tak bisa disembunyikan pula bahwa dia juga sedang gelisah. Tangannya berkali-kali memainkan kain jariknya.
“Mereka menganggap bahwa uang telah menyelesaikan semuanya. Bukan itu permasalahannya.” Tarju tampak kesal. Segera dia meneguk kopi, berusaha meredakan gejolak hatinya.
Istrinya mendesah, kemudian berkata: “Semakin hari keadaanya semakin bertambah buruk.”
“Kasihan, dia tak bersalah, tak mengerti apa-apa. Tidak seharusnya mendapatkan perlakuan yang seperti ini.”
“Dari mula, mereka betul-betul tak menginginkannya. Mereka menyesal dan ingin menghapusnya dari kehidupan mereka.”
“Sebaiknya tak usah menjanjikan untuk datang. Tiap hari, kita jadi gelisah menunggu mereka.” Tarju berdiri, kemudian berjalan menuju jendela samping. Pandangannya menatap jauh. Udara pagi itu cukup segar, sedikit dapat mengurangi ketegangan di kepalanya.
“Sudahlah, anggap saja angin lalu. Sudah 18 tahun lebih, sedikitpun tidak ada perubahan. Mungkin tidak sama sekali.” Rukmi bangkit, lalu hendak kembali ke belakang. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar bunyi ketokan pada pintu. Sejenak dia menatap suaminya yang masih berdiri dekat jendela. Segera dia bergegas menuju pintu depan setelah melihat suaminya memberi tanda agar dia yang membukakan pintu.
Sedang Tarju masih tetap menikmati rokok cerutunya sambil melihat ke arah persawahan yang membentang. Burung-burung terbang berkelompok-kelompok, membentuk huruf-huruf yang entah apa maknanya.
***
Dika telah memasuki sebuah perkampungan yang cukup terpencil. Udara pagi sangat sejuk, dia menjalankan mobilnya dengan perlahan menyusuri jalan yang di kanan kirinya berjajar pohon-pohon rindang. Matanya terus menikmati keindahan kampung tersebut. Beberapa orang tampak sedang bekerja di sawah, anak-anak kecil berlarian, beberapa malah mengikuti di belakang mobilnya. Mereka sangat riang.
Tiga orang sedang memotong rumput yang banyak tumbuh menghijaukan tanah. Dika menghentikan mobilnya, lalu turun dan berjalan ke arah mereka. Dika menyapa mereka, sejenak berbasa basi. Orang-orang itu menyambut kehadiran Dika dengan ramah. Mereka sangat lugu dan tulus. Segera Dika menyampaikan maksud kedatangannya ke kampung tersebut. Dia menanyakan alamat rumah seseorang, dan tanpa kesulitan, orang-orang itu menunjukkan di mana letak rumah yang akan dituju Dika.
Setelah mengucapkan terima kasih, Dika kembali ke mobil dan perlahan melanjutkan perjalanannya. Beberapa orang yang ditemuinya di jalan menyapa dengan senyuman. Mereka sangat ramah walaupun kepada orang yang belum dikenal sekalipun, dan Dika merasa sangat tersanjung, dia merasa bahagia.
Dika telah sampai ke rumah yang dituju, setelah bertanya sekali lagi untuk memastikan letaknya. Dika turun dari mobil dan berjalan memasuki halaman rumah yang banyak ditumbuhi pohon rindang. Rumah itu terbuat dari kayu jati yang penuh dengan ukiran indah. Kelihatan artistik, puluhan pohon bonsai ditata rapi, pot-pot yang bergantungan dengan berbagai bunga menambah suasana semakin asri.
Setelah sampai di depan pintu, Dika mengetok perlahan. Sesaat kemudian, pintu dibuka dari dalam oleh seorang perempuan sekitar 50 an tahun, di tangannya memegang nampan yang telah kosong. Perempuan itu tersenyum ramah lalu mempersilahkan Dika masuk.
“Silahkan duduk nak,” kata Rukmi. “Ada perlu apa? Kelihatannya anak bukan orang sini.’
Setelah menganggukkan kepala berusaha seramah mungkin, Dika duduk. Sejenak dia mengamati ruangan tamu itu. Semua perabotan terbuat dari kayu dengan berbagai ukiran yang sangat indah. Seorang laki-laki tua berperawakan tinggi besar berdiri dekat jendela, pandangannya beralih dari luar ke arah Dika. Dia tersenyum.
“Betul bu, nama saya Dika. Kedatangan saya ke sini untuk bertemu dengan bapak Tarju.” Jawab Dika.
Rukmi memberi tanda pada laki-laki yang berdiri dekat jendela. Tarju membuang cerutunya kemudian berjalan menuju kursi di depan Dika, kemudian duduk.
“Sebentar, ibu mau ke belakang. Pagi-pagi begini sangat enak ngobrol sembari minum teh hangat.” Rukmi mengambil cangkir kopi yang telah kosong lalu meletakkannya di nampan dan membawanya ke belakang.
“Anak ada perlu apa dengan saya?”
“Saya ingin bertanya tentang sesuatu kepada Bapak.”
“Tampaknya sangat penting. Apakah gerangan? Sebelumnya kita belum pernah bertemu bukan?”
Dika mengiyakan, lalu menceritakan perihal maksud kedatangannya. Mulai dari telegram yang ditujukan kepada orang tuanya yang kemudian dengan sembunyi-sembunyi dibacanya, juga tentang kegelisahannya setelah membaca isi telegram tersebut.
“Jadi kamu…?” Tarju tercekat memandang Dika seakan tidak percaya. Matanya berbinar antara terkejut dan gembira. “Rukmi! Rukmi!” Spontan dia berteriak memanggil istrinya yang masih di belakang.
Dika diam tak mengerti apa yang sedang terjadi. Perubahan ekspresi dari Tarju yang seperti itu tak pernah dibayangkannya.
Rukmi datang bergegas sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat serta sepiring penuh telor ceplok.
“Ada apa pak? Kok teriak-teriak seperti itu?” katanya sambil menata bawaanya di atas meja. “Silahkan diminum dulu nak, juga telornya dimakan. Pagi-pagi begini pasti lapar.” Kemudian dia duduk.
“Bu, Tuhan betul-betul memberikan rahmat. Anak ini putra Raden mas Bayu Anggoro dan Raden Ayu Sekar Arum.” Tarju gembira menyampaikan kalimat itu pada istrinya.
Seperti suaminya, Rukmi juga sangat terkejut. Bahkan perubahan sikapnya lebih mencolok. Setelah memandang Dika, spontan dia berdiri lalu memeluk Dika dengan sangat erat. Tidak hanya itu saja, tangisannya tumpah ruah sambil terus menerus mengucapkan syukur kepada Tuhan. Dika hanya diam tak mengerti apapun yang sedang berlangsung saat itu. Beberapa saat lamanya keadaan seperti itu bertahan.
Setelah masing-masing dapat menguasai diri, Dika kembali melanjutkan menceritakan tentang maksud kedatangannya yang sempat terhenti tadi. Dia menanyakan apa betul mereka yang mengirim telegram tersebut. Juga menanyakan maksud dari isi beritanya.
“Memang betul kami yang mengirimnya …” Tarju mulai menceritakan tentang semuanya, bahwa turun temurun keluarganya adalah pengasuh keluarga besar papa Dika. Bahwa dia dan isrinya lalu ditugaskan untuk menjaga papanya setelah menikah dengan mamanya, bahwa mereka selalu mengikuti kemanapun orang tua Dika pergi, bahwa mereka selalu bahagia sebelum peristiwa itu terjadi ….
***
Wajah Dika membara. Matanya tajam memandang kedua orang tuanya yang duduk membisu. Remaja 17 tahun itu menumpahkan seluruh amarahnya.
Suara Dika terdengar keras.
“Apa betul yang berada di hadapan Dika saat ini adalah orang tua yang selama ini Dika hormati?! Dika tidak percaya bahwa papa dan mama adalah orang-orang kejam dan tidak punya perasaan sama sekali! Begitu tega kalian menelantarkan anak kandung sendiri. Bahkan kalian tak mengakui dia sebagai anak, hingga akta kelahirannya pun tertulis sebagai anak Tarju dan istrinya. Apa yang ada di otak kalian.
“Dika tak habis pikir, bagaimana mungkin papa dan mama bisa tidur nyenyak, sedangkan salah satu anak kalian tak pernah mendapatkan belaian kasih sayang orang tuanya. Dia tidak bersalah ketika harus dilahirkan ke dunia. Dia adalah kakak Dika. 18 tahun lebih dan tak sekalipun kalian menengoknya. Saat ini dia terbaring sakit, setiap hari keadaanya semakin bertambah buruk, dan kalian tak perduli sama sekali. Orang tua macam apa kalian ini!
“Apa papa dan mama pikir dengan memberi jatah uang saja sudah cukup? Kejam sekali perlakuan yang kalian timpakan padanya. Kalian telah meniadakannya, kalian menelantarkannya. Bagaimana seandainya dia adalah Dika, pasti kalian buang juga! Lalu kasih sayang apa yang selama ini kalian berikan pada Dika? Bukan ketulusan sama sekali. Semuanya bohong!”
Dika membanting sebuah guci hiasan ruang tamu itu hingga pecah berantakan. Sejenak dia pandang kedua orang tuanya yang semakin membisu dengan pandangan tetap memendam beribu amarah. Kemudian dia berlari menuju garasi mobil.
Dengan cepat Dika menjalankan mobilnya. Di kepalanya saat ini terbayang sesosok perempuan yang terbaring lemah tak berdaya di rumah Tarju. Perempuan itu yang kemudian dia ketahui sebagai kakak kandungnya. 18 tahun lalu, perempuan itu telah dibuang oleh orang tuanya karena terlahir cacat fisiknya, juga idiot. Saat Dika melihatnya, perempuan itu terlihat tak berdaya, hanya matanya saja yang selalu meneteskan air mata.
Dika teringat wajah Tarju yang begitu sedih, laki-laki itu selalu menangis hingga pipinya yang keriput menjadi basah kuyup. Tarju tak tega membawanya ke rumah sakit, hingga dia merawatnya di rumah sendiri dengan menyediakan peralatan medis yang dibutuhkan, juga mendatangkan dokter secara rutin.
Di telinganya masih terngiang kata-kata Tarju:
“Sampai suatu saat, mamamu hamil. Keluarga besar papa dan mamamu sangat senang, terutama orang tua papamu. Sebab ini adalah cucu mereka yang pertama. Sampai-sampai mamamu di suruh untuk tinggal bersama mereka dan dimanjakan. Sampailah hari yang ditunggu-tunggu tiba, saat kelahiran bayi itu. Semua keluarga berkumpul, menantikan kehadiran sang bayi.”
Sejenak Tarju diam, tangannya mengusap airmata yang mengalir membanjiri pipinya yang telah keriput. “Tapi bayi itu kemudian disia-siakan, saya bersama istri saya meminta supaya diberi kepercayaan untuk merawatnya. Mereka memperbolehkan saya merawat, bahkan akan menanggung seluruh biaya kehidupannya, tapi saya harus membawanya jauh dari keluarga besar mama dan papamu. Akhirnya saya membawanya kemari, ke kampung saya. Saya berharap papa dan mamamu mau menengoknya walupun sebentar. Sejak lahir dia tak pernah mendapatkan pelukan dari orang tuanya.”
Air mata Tarju semakin deras, dia tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. Begitupun Rukmi, perempuan itu menelungkupkan wajahnya di atas meja, hanya tangisannya saja yang terdengar sesenggukan. Sangat menyedihkan.
Putri ndoro sakit keras
Kembali teringat kalimat yang tertulis dalam telegram lalu, yang membuat dia menjadi penasaran. Ternyata dorongan untuk mengetahui berita dalam telegram itu adalah karena nasib kakak kandungnya yang sengsara…
TAMAT
1995
Senin, 05 Desember 2011
SEBUAH TELEGRAM" CERPEN KARYA YESUDHAS
PERHATIAN
=================================================
Trading di pasar Forex melibatkan resiko yang tinggi, termasuk kemungkinan kehilangan dana secara total dan kerugian lainnya, yang tidak cocok untuk semua anggota.
Klien harus memiliki pertimbangan yang baik tentang apakah trading sesuai untuk anda / anda mengingat nya / kondisi finansial, pengalaman investasi, toleransi resiko, dan faktor lainnya.
=================================================