Senin, 05 Desember 2011

SKENARIO DRAMA KARYA YESUDHAS "KAMPUNG KALI" BABAK IV

SKENARIO DRAMA KARYA YESUDHAS

"KAMPUNG KALI"




BABAK IV


Adegan I


Di dalam rapat pejabat-pejabat tinggi.

(Tuan Kasta berdiri di atas podium sedang berpidato, beberapa ajudan mendampinginya.)

Tuan Kasta :
“Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang saya hormati. Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air,
Hadirin yang saya muliakan,

“Sungguh merupakan kebahagiaan bagi saya, pada hari ini dapat kembali menyampaikan pidato, untuk menyampaikan pesan-pesan saya kepada seluruh rakyat di penjuru tanah air.

“Ada sebuah permasalahan yang saat ini sedang ramai dibicarakan oleh kalangan masyarakat maupun media. Bahwa rencana penertiban oleh aparat negara tiba-tiba dijadikan menjadi isu yang sangat panas. Tujuan untuk mendisiplinkan orang-orang yang memang selama ini selalu menjadi duri dalam setiap peraturan yang dibuat pemerintah, tiba-tiba berubah, seakan-akan aparat telah melakukan penindasan dan pemerkosaan.

“Saya pribadi merasa tersudutkan oleh tudingan miring tersebut. Perasaan bersalah tiba-tiba menusuk dalam nurani saya dan mengganggu setiap tidur saya. Saya merasa gelisah dan tidak enak makan. Saya berfikir apakah memang sekeji itukah saya? Atau apakah memang sekeji itukah seluruh aparat kita?

“Tetapi setelah merenung kembali, saya meyakini bahwa kebijakan yang telah diambil adalah langkah terbaik. Nurani saya tertipu oleh muslihat orang-orang yang terlalu pintar mendramatisir keadaan. Apa yang terjadi saat ini adalah usaha untuk mendisiplinkan seluruh komponen bangsa. Kebudayaan tidak akan berkembang dengan baik kalau tidak didasari dengan kedisiplinan. Kebijakan yang diambil merupakan pertanggung jawaban terhadap seluruh rakyat di seantero negeri ini.

“Apakah nasib bangsa ini akan dikalahkan oleh segerombolan orang-orang yang hidupnya lebih banyak membuat kerusuhan dan mengganggu ketertiban? Di jalanan saya melihat orang berpura-pura miskin untuk mengemis, mereka menodong di lampu-lampu merah, mereka meludah di depan orang-orang yang sedang berjalan, mereka mengambil alih dan menduduki sarana-sarana publik dan setiap saat mereka memberikan teror.

“Apakah kita biarkan hal seperti ini berlangsung terus-menerus? Membiarkan para pemalas itu bersuka ria? Sedangkan bangsa ini sedang bekerja keras untuk memperbaiki diri. Yah, mereka para pemalas yang suka menjual kemiskinan. Mereka orang-orang sakit jiwa yang lebih suka memakai pakaian dekil dan kotor dari pada mencucinya. Mereka mengkorupsi tanah negara, dan setiap orang dapat melihatnya dengan jelas. Apakah kita akan membiarkan selamanya? suatu saat mereka pasti akan merampas yang lebih besar lagi dari bangsa ini.

“Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sebagai salah satu bagian dari bangsa ini, saya tidak akan membiarkan mereka merongrong kedaulatan bangsa. Oleh karena itu saya akan tetap melaksanakan kebijakan tersebut, karena saya sangat mencintai negeri ini … seperti hadirin semua yang ada di sini, dan seperti harapan seluruh rakyat.

“Terima kasih ….. “

(Tuan Kasta meninggalkan podium di ikuti oleh ajudannya)



Adegan II


Di Jalanan

Rizal sedang berjalan, tiba-tiba beberapa orang merangkulnya dan menodongkan sebuah pistol. Tampak Rizal dibawa dengan paksa, Rizal tidak dapat berbuat apa-apa.



Adegan III


Di Kampung Kumuh

(Orang-orang tampak panik. Mereka berkumpul)

Ismail :
“Banyak sekali aparat berdatangan, mereka membawa senjata lengkap.”

Sulaiman :
“Tampaknya kali ini mereka tidak akan main-main.”

Butet :
“Semua orang sudah bersiap, kita akan melawan mereka.”

Warti :
“Kenapa tidak ada satupun orang-orang dari organisasi yang kemarin datang?”

Cinta :
“Mereka tidak akan datang dalam keadaan seperti ini, kita harus berjuang sendiri.”

Ismail :
“Dimana mas Rizal?”

Cinta :
“Mas Rizal sudah tertangkap.”

Sulaiman :
“Bagaimana kamu tahu?”

Cinta :
“Intan yang cerita, dia melihat kak Rizal dibawa beberapa orang.”

Ismail :
”Apa yang akan terjadi pada mas Rizal?”

Cinta :
“Entahlah, tapi lebih baik seperti itu.”

Sulaiman :
“Apa maksudmu?”

Cinta :
“Ini akan menjadi akhir dari perlawanan kita, kepada mereka maupun pada kehidupan kita. Tidak adil bagi kak Rizal untuk menanggung beban ini.”

Ismail :
”Betul juga, lebih baik seperti itu.”

Cinta :
“Mereka sudah mendekat.”

(Orang-orang merapatkan barisan)

Cinta :
“Kalau ada yang ingin mundur, sekaranglah saat yang tepat, jangan sampai terlambat.”

Ismail :
“Semua orang sudah bertekad untuk melawan.”

Cinta ;
“Warti, kamu harus menyelamatkan anakmu dari penjara.”

Warti :
“Tapi aku tidak mungkin meninggalkan kalian semua.”

Ismail :
“Pergilah Warti, kamu harus mengeluarkan anakmu.”

Warti :
“Tapi ….

Cinta :
“Pergilah … cepat sebelum terlambat, mereka semakin mendekat.”

(agak ragu, Warti kemudian berbalik)

Warti :
“Percayalah .. aku akan membalas semua ini.!!”

(Warti segera berlari sambil menangis)

Cinta :
“Apakah kalian sudah siap dengan rencana kita?”

Ismail :
“Kami siap, ini sudah menjadi keputusan.”

(Cinta 1 datang)

Cinta :
“Apakah anak-anak sudah aman?”

Cinta 1 :
“Mereka sudah aman, mereka berada di kelompok kedua.”

Ismail :
“Semoga kita mampu menghentikan mereka, hingga anak-anak tidak ada yang menjadi korban.”

Ismail :
“Mereka mendekat …”

Sulaiman :
“Cinta .. Maafkan kalau selama ini aku banyak berbuat salah.”

Cinta 1 :
“Aku juga minta maaf pada kalian semua. Selama ini aku sudah bikin kampung kita jadi buruk di mata orang.”

Sulaiman :
“Sebenarnya aku pernah mencuri celana dalammu yang sedang di jemur. Aku betul-betul bingung, aku tak punya celana dalam sama sekali.”

Cinta 1 :
“Kurang ajar, pantas saja celana dalamku hilang satu. Tapi itu kan celana dalam cewek?”

Cinta :
“SSt … Bersiaplah … .”

(Orang-orang semakin merapatkan barisan. Tampak raut muka mereka sangat tegang.)

(Terdengar suara dari alat pengeras suara)

Suara :
“Menyerahlah, kalian sudah terkepung. Kali ini kalian tidak akan menang. Angkat tangan kalian lalu berjongkok. Itu akan membuat hukuman kalian menjadi lebih ringan!”

(Orang-orang kampung kumuh semakin merapatkan barisan)


Suara :
“Kalian betul-betul keras kepala, melawan aparat justru akan dihukum berat. Kali ini kami tidak akan memberi ampun kepada para pemberontak seperti kalian. Kalian sudah melakukan gerakan makar. Pasukan …. Maju!!.... ….. ……….. …………. Berhenti ….!!”

Suara :
“Kalian telah mengambil alih tanah negara, mendudukinya, melakukan rencana-rencana kejahatan dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Ini kesempatan terakhir … segeralah menyerah …

(Orang-orang kampung kumuh saling berpegangan tangan, tampak wajah mereka semakin tegang, ada kemarahan, ada kesedihan terpancar dari wajah-wajah kusam itu.)

Suara :
“Baiklah, ini sudah pilihan kalian. Sebagai aparat, kami harus menegakkan aturan, siapapun yang membangkang harus berhadapan dengan kami. Pasukan …. Maju …..!!”

(Suasana semakin mencekam)

Cinta :
“Tunggu sampai mereka betul-betul sudah dekat….. sedikit lagi …… sedikit lagi …….. ”

(Tiba-tiba cinta maju selangkah dan berteriak)

“Tidak ada seorangpun yang dapat mengusir kami dari sini, tak perduli tanah ini milik siapa. Ini rumah kami, setiap saat kami selalu pulang ke sini. Kami miskin, tapi tak pernah ada yang mau perduli. Siapa yang mau hidup seperti ini? Tak ada seorangpun … termasuk juga kami. Tapi semua orang selalu memojokkan kami, kalian semua. Kalian yang saat ini berbaris dengan mengokang senjata di hadapan kami, seakan kami adalah para penjarah tak bermoral. Juga kalian semua yang melihat dan mentertawakan nasib kami, kalian yang selalu meludahi kami di jalanan, kalian yang selalu jijik pada hidup kami. Kalian yang punya kesempatan bermalas-malasan di depan pemberitaan nasib kami yang laknat. Juga kalian semua yang melihat ketakutan kami dari pinggir jalan sana, juga dari atas jembatan layang itu. Hari ini kami akan memuaskan tudingan kalian. Kami memang tak bermoral, karena kami biasa hidup di jalanan dan tidur bersama sampah. Kami tak perduli lagi tentang moral, kami menginginkan rumah kami, kami ingin tidur di dalamnya seperti biasa, berselimut kardus-kardus dan makan bersama tikus-tikus got. Kami sudah tidak perduli semua itu karena kalian semakin memojokkan kami, membunuh setiap kesempatan kami.

“Tapi kalian tidak akan mampu menguasai takdir kami, kali ini kami yang akan menentukannya sendiri.”

(Cinta mengeluarkan sebilah pisau, diikuti semua orang kampung kumuh yang ada di situ. Suasana mencekam, tiba-tiba cinta menghujamkan pisau itu di dadanya, terdengar jerit kesakitan bercampur kamarahan. Tak lama kemudian jeritan lain susul menyusul, mereka melakukan bunuh diri bersama, darah membanjiri tanah. Merah … sangat merah …)



Adegan IV


Di dalam sebuah kamar mewah

(Warti berdiri membisu)

Tuan Kasta :
“Ternyata kamu …. Padahal aku sudah pesan kepada asistenku untuk mencari orang lain yang lebih bergairah.”

Warti :
“Saat ini saya sangat bergairah.”

Tuan Kasta :
“Seperti mayat, dingin dan kaku.”

Warti :
“Saya yakin Tuan belum pernah mendengar jeritan sesosok mayat.”

Tuan Kasta :
“Apakah kamu pernah mendengarnya?”

Warti :
“Yah … terdengar menyakitkan dan sangat memilukan.”

Tuan Kasta :
“Benarkah? Apakah saat ini mayat itu akan menjerit?

Warti :
“Dia akan menjerit … “


Tuan Kasta :
“Apakah mayat itu akan berdarah?”

Warti :
“Dia akan berdarah …. Darah yang tersimpan dari dendam …. “

Tuan Kasta ;
“Kemiskinan selalu melahirkan dendam.”

Warti :
“Apakah Tuan sudah cukup siap untuk menikmatinya?”

Tuan Kasta :
“Aku suka malam ini, pasti lebih menggairahkan dari semua yang pernah terjadi.

(Tuan Kasta mendekat)


Warti :

“Mendekatlah seperti seorang anak nakal ….
Yah .. seperti itu …
Mata liar dan buas …. Deru nafas menderu ….
Sangat ganas ….
Tangan yang siap mencabik-cabik ….
Mayat itu akan segera menjerit …
Sangat kesakitan …
Sangat memilukan ….
Kemarilah …. Anak nakal … Lebih dekat … supaya nanti kau bisa melihat darahnya …
semakin dekat pada luka, kau akan menyaksikan darah yang lebih segar ….

(Tuan Kasta semakin mendekat, dan kini tubuh keduanya merapat, Tuan Kasta meraih rambut Warti dan menjambaknya. Warti tertawa dengan keras. Tiba-tiba Warti melepaskan diri perlahan, dilihatnya Tuan Kasta yang berdiri dengan mata melotot, Tangannya meraba dada, darah segar mengalir deras dari dada yang masih tertancap sebilah pisau itu. Tak ada jeritan dari mulut Tuan Kasta, hanya matanya yang terus melotot dengan penuh kemarahan, perlahan tubuh itu ambruk terduduk. Warti mendekatinya lalu perlahan mendorong tubuh itu dengan kakinya. Tubuh Tuan Kasta terlentang bersimbah darah.)


**** TAMAT ****

Silahkan Untuk Berbagi

Anda dapat membagikan , menyebarkan , mengkopi , menyalin artikel SKENARIO DRAMA KARYA YESUDHAS "KAMPUNG KALI" BABAK IV ke media berbagi anda sebebasnya tapi dengan menyantumkan sumbernya . atau dengan mengkopy kode berikut ini untuk menyantumkan sumber posting ini .

Original article by : | Trader Forex Indonesia |

Indahnya berbagi !

Related Posts by Categories

PERHATIAN

=================================================
Trading di pasar Forex melibatkan resiko yang tinggi, termasuk kemungkinan kehilangan dana secara total dan kerugian lainnya, yang tidak cocok untuk semua anggota.

Klien harus memiliki pertimbangan yang baik tentang apakah trading sesuai untuk anda / anda mengingat nya / kondisi finansial, pengalaman investasi, toleransi resiko, dan faktor lainnya.
=================================================