BERIKUT ADALAH SATU CERPEN LAGI DARI YESUDHAS
PENGAKUAN SEORANG PEMBUNUH
Karya : Yesudhas
“Kebencianlah yang membuat saya masih bisa bertahan hidup sampai sekarang!
“Yah… kebencian…… kebencian yang selalu bergemuruh dalam urat nadi saya!
“Kebencian yang pernah membuat saya menderita, karena perasaan itu selalu membakar. Itu ketika saya masih menggunakan nurani. Sampai saya betul-betul membunuh nurani dan mulai mencintai rasa benci itu.”
Laki-laki itu sejenak menghisap rokok, dia menyedotnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Kepulan asap rokok sesaat menutup wajah laki-laki itu sebelum hembusan angin menghamburkannya hingga tercerai berai ke setiap sudut ruangan.
Wajah laki-laki itu tegak, berapi-api.
“Saya pernah sakit hingga saya hampir mati!
“Sakit yang menurut seorang dokter tidak akan bisa disembuhkan…
“… Kangker otak…..!
“Yah penyakit itu sempat membuat saya semakin tersiksa! Dia menyakiti saya setiap saat! Tidak ada seorangpun yang tahu. Saya selalu sendirian setiap kali rasa sakit itu menyerang, bahkan sampai saya terkapar pingsan, dan ketika tersadar, saya masih tergeletak di tempat semula.
“Saya merangkak sendirian mencari sesuatu untuk sekedar membantu saya untuk berdiri.
“Saat itu saya begitu kepayahan dan hampir putus asa. Saya mencoba merelakan seandainya setiap saat ajal menyemput saya. Tapi saya selalu gelisah, karena sebenarnya saya tidak akan mau mati saat itu….
“Sejujurnya saya tidak akan rela seandainya malaikat maut mencabut nyawa saya, karena saya masih ingin melakukan sesuatu….”
Laki-laki itu sejenak manarik nafas. Wajahnya tegang, matanya semakin tajam. Kembali dia berkata, suaranya bergetar karena menahan gejolak emosi.
“Balas dendam!
“Yah….. itu yang masih ingin saya lakukan sebelum saya mati. Dan saya tidak akan bisa mati dengan tenang sebelum membuat orang yang telah menyengsarakan saya itu merasakan lebih dari apa yang sudah dia timpakan kepada saya.”
Para pengunjung sidang yang berada di ruangan itu tercekat. Kata-kata yang sedikitpun tidak mengandung rasa penyesalan. Para wartawan terus mengikuti setiap detil jalannya persidangan terhadap pembunuh berantai yang beberapa waktu ini menjadi sorotan masyarakat.
“Dulu saya adalah orang baik, sama seperti kalian yang berada di ruangan ini dan kalian yang sedang menyaksikan persidangan ini dari luar sana, bahkan mungkin lebih baik dari pada kalian. Orang-orang menghormati saya karena kebaikan hati saya. Saya betul betul tulus, walaupun kehidupan telah membebani saya. Kemiskinan memang sangat memberatkan, tapi waktu itu saya tak pernah mengeluh karena saya percaya bahwa Tuhan selalu berada di dekat saya dan melindungi saya.”
Raut wajah laki-laki itu berubah, tatapan matanya menjadi sendu.
“Sampai suatu ketika aku mengenalnya…..
“Yah aku masih ingat, ketika itu hari mulai senja. ….
“Senja….. saat sepasang mata bening menggelisahkan perasaanku.”
Laki-laki itu mulai larut dalam pengakuannya, ada butiran bening mengalir dari matanya yang tampak begitu lelah, tapi cepat dia menghapus dengan telapak tangannya, seakan tidak ingin orang lain tahu bahwa dia sedang menangis.
Tak ada lagi ucapan saya untuk menyebut dirinya, sekarang telah berganti menjadi aku.
Laki-laki itu kembali menghisap rokok kesayangannya. Kemudian dia meneruskan kata-katanya. Kata-kata itu begitu lembut, mengalir dari bibirnya yang pucat.
“Tiba-tiba aku merindukannya….
“Perasaan yang selama ini belum pernah begitu mendesak-desak dalam dadaku. Aku ingin merenangi kedalaman mata itu dan memberi makna pada kekosongannya. Dia begitu agung, duduk di sudut pandangku. Aku begitu membutuhkannya, hanya itu yang aku tahu.
“Yah benar …. Aku sangat mencintainya.”
Tiba-tiba laki-laki itu tertawa keras hingga mengagetkan pengunjung sidang. Lama laki-laki itu melepaskan tawanya.
“Dulu aku sangat muak dengan cerita tentang cinta! Aku menyumpahi cerita-cerita yang menurutku terlalu didramatisir itu. Para pujangga seakan mengatakan bahwa segalanya akan menjadi selesai saat sepasang manusia telah berpagut mesra dengan taburan rayuan yang membumbungkan angan. Aku mentertawai cerita-cerita itu dengan sepenuh hati. Bahkan sering aku meludah setelah membaca roman yang tiba-tiba saja membuat manusia menjadi begitu cengeng!”
Laki-laki itu menunduk, agak lama dia berhenti berkata.
Perlahan dia mulai mengangkat kepalanya. Tapi kali ini, pandangan matanya jauh menerawang ke atas langit-langit ruang sidang yang besar itu. Kemudian dia melanjutkan bicara. Nadanya serak dan berat.
“Tapi nyatanya, saat itu aku menjadi luruh oleh tatapan matanya yang sangat teduh.”
Laki-laki itu kembali diam, sejenak menghela nafas.
“Hatiku bergetar, perasaanku tergugah. Aku betul-betul telah jatuh cinta.”
Kembali ada butiran bening mengambang di matanya. Sebelum butiran bening itu jatuh, dia mengusap matanya dengan telapak tangan.
“Aku menyapanya. Dia begitu lugu dan sendiri. Aku ingin merengkuhnya dalam dekapanku, lalu membelai dan menyayanginya. Dalam sekejap mata, aku telah memimpikannya.”
Terdengar isak tangis dari laki-laki itu. Kelihatan sekali ada semacam romantisme masa lalu yang begitu dirindukannya. Rasa yang telah begitu lama mencoba dibunuhnya. Tapi ternyata sampai saat inipun, ketika dia telah menjadi seorang pembunuh kejam, dia belum berhasil melenyapkan perasaan itu dari dalam dirinya.
“Sejak saat itu, kami selalu bersama seakan tak akan pernah terpisahkan. Aku berfikir bahwa kebahagiaan telah berhasil aku dapatkan. Aku merasa dia betul-betul mencintaiku, seperti aku mencintainya. Tiap saat kami berpagut mesra, menumpahkan kebahagiaan yang seakan-akan tidak akan pernah bisa hilang. Aku sangat bahagia waktu itu, aku melewati hari-hariku dengan kecerahan.
“Sampai suatu ketika …….”
Laki laki itu diam, tiba tiba wajahnya merah seperti mau meledak. emosinya memuncak, dan dia menggebrak kursi yang didudukinya.
“Sampai suatu ketika …. dia menghancurkan seluruh kebahagiaanku !!”
Suaranya sangat tinggi, penuh dengan kemarahan. Para pengunjung tercekat ngeri, memang benar, dia sangat kejam. Itu yang bisa dirasakan pengunjung sidang saat melihat ekspresi dari laki-laki yang duduk di kursi terdakwa itu. Tapi tidak lama, kemarahan laki-laki itu kembali lenyap. Bahkan sekarang tampak kesedihan dan penderitaan yang berat dari wajahnya yang masih menyisakan sisa-sisa ketampanan masa lalu itu.
Dia berkata dengan tangisan yang membuat seluruh hadirin menjadi merinding.
“Dulu aku sangat sendiri, dan aku mencintai kesendirianku! Sampai saat aku merasakan ketergantunganku akan kehadirannya! Tiba-tiba aku menjadi takut dengan kesendirian, hingga aku selalu mencarinya untuk menemani kesendirianku!
“Hidup memang kejam, aku pernah merasakan kekejamannya bahkan sampai yang terburuk sekalipun. Tapi dia telah memberikan kekejaman yang lebih mengerikan dari apa yang pernah aku bayangkan! Aku yang selama ini meragukan kejahatan manusia menjadi terperangah! Aku yakin setiap manusia punya hati dan perasaan, hingga aku merasa dapat mengatasi setiap kekejaman yang akan mereka lakukan kepadaku!
“Tapi aku terperangah! jiwaku meledak!! Karena memang ada kekejaman yang mengerikan yang bisa dilakukan oleh seorang anak manusia! Kekejaman itu …. Kekejaman yang dia lakukan kepadaku!”
Laki-laki itu menangis tersedu, deras, hingga tangannya tak mampu lagi menyembunyikan air matanya yang tumpah. Suaranya lirih tersendat menahan tangisan.
“Dia memang tidak punya hati dan perasaan sama sekali !
“Dia batu yang meledakkan semesta !
“Dia iblis yang menghancurkan surga !
“….. entah apa lagi yang pantas untuk dapat diperbandingkan dengan dirinya !
“Lalu aku mulai meyakinkan diriku bahwa dia memang jahat. Selama ini aku mencoba untuk menepis semua prasangka burukku terhadapnya. Tapi aku harus tegaskan pada hatiku bahwa dia memang sangat jahat, dan telah menyakiti dan menghancurkan aku!
“Aku terbuang dan tersia-sia……
“Selama ini aku sering merasakannya, tapi aku tak pernah membayangkan dia yang akan memperlakukan aku seperti ini. Karena aku sangat membutuhkan rengkuhan serta dekapan kasih sayangnya.”
Seluruh orang yang menyaksikan persidangan itu tetap hening, mereka mencoba memaknai kejadian di hadapan mereka. Puluhan kamera terus menyorot ke arah laki-laki kurus yang duduk di kursi pesakitan, seakan tak ingin melepaskan sedikitpun tiap momen yang terjadi.
“Berkali-kali aku berharap kepadanya…. aku ciumi kakinya. Aku menangis …… memohon agar dia tidak lagi menyakitiku. Tapi semua sia-sia dan dia tetap menyakiti aku dengan sangat mengerikan….
“Aku terkapar tak berdaya! Terlempar di sudut gelap dan sunyi. ….
“Sendirian…
“Sungguh….. aku sangat menderita…………”
Suara tangisan laki-laki itu mengiris hati semua yang menyaksikan jalannya persidangan. Orang-orang mulai mempertanyakan kembali dalam hati mereka masing-masing, apa betul laki-laki yang duduk di sana adalah seorang penjahat kejam. Detik ini, sedikitpun tidak nampak sosok pembunuh di sana, melainkan seorang laki-laki kurus tak berdaya dengan air matanya yang tumpah ruah menyayat. Apa benar dia pembantai itu? Beribu pertanyaan berkecamuk pada diri setiap orang.
Kembali laki-laki itu melanjutkan pengakuannya.
“Sangat berat perjalanan hidup yang aku alami. Panas setiap langkah yang kulalui, pengap udara serta sampah busuk menekanku dalam sunyi. Air mata tak lagi mampu mewakili kesedihanku. Tak ada lagi yang tersisa dari masa laluku, segalanya menjadi senyap dan gelap. Aku terbuang dari segala. Dan mulailah aku lelap dalam lamunan, hanya hayalan yang ada dalam kepalaku. Hayalan tentang dia yang sedang duduk bersandar di bahuku. Lalu kami saling bercerita tentang riang ilalang di perbukitan. Tertawa menyaksikan liukan ombak. Hayalan tentang dia yang membelai punggungku, hayalan tentang dia yang mencium lembut bibirku. … Oooh aku sangat merindukannya….”
Di luar gedung, awan tipis menutup matahari seakan memberi keteduhan pada semesta. Anak-anak bermain dengan penuh keriangan. Mereka sebenarnya telah menoreh pada perjalanan sang waktu. Walaupun hanya jejak-jejak kecil yang berasal dari tapak kaki mungil mereka. Tawa dan canda lepas bersama derai angin yang menyentuh pucuk-pucuk pepohonan. Betapa indah kehidupan di tangan mereka.
“Aku menghabiskan waktuku untuk mencarinya. Aku menyusuri setiap jalan yang pernah dia lalui dan berharap melihat dia sedang melangkah di atasnya…Aku mengunjungi setiap tempat yang pernah dia singgahi hanya sekedar berhayal bertemu dengannya….Aku menunggu setiap saat dan berharap dia menemuiku yang sedang meringkuk kedinginan….Aku merindukan senyumannya yang dulu pernah menemaniku setiap saat…! Aku betul-betul telah menjadi gila saat itu! …. Aku gila karena terus memikirkannya !
“Dan sejak itulah aku mulai merasa ada kelainan di kepalaku. Sakit yang luar biasa aku alami setiap saat, sampai ketika seorang dokter mengatakan bahwa aku menderita kangker otak dan memvonis aku tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi….”
Sesaat suasana menjadi sunyi ketika laki-laki itu menghentikan bicaranya. Bahkan suara nafas juga seakan tak terdengar, padahal ada banyak manusia yang hadir di sana.
“Kalian semua tentu tidak mampu membayangkan seberapa besar penderitaan yang menimpaku. Hingga saat itu aku hampir putus asa. Tapi aku tidak mau mati sebelum membalas semua penyiksaan yang terjadi !
“Dan seperti kalian lihat ….. sampai saat ini aku masih bisa duduk di sini dan bercerita kepada kalian… Rasa dendam itulah yang membuat aku masih bisa bertahan hidup sampai sekarang.
“Kebencian itu telah mengalahkan kangker otak yang hampir saja merenggut nyawaku satu-satunya!”
Laki-laki itu berdiri dari duduknya, lalu membanting puntung rokok di tangannya. Sebuah senyum sinis mengembang. Senyum kemenangan yang jelas tergambar. Kepuasan !
“Akulah pembunuh orang-orang yang ditemukan telah menjadi mayat di kamar salah satu hotel itu! Aku membunuh mereka dengan kejam! Satu persatu aku bantai keluarganya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa saat aku menghabisi nyawa orang-orang itu di hadapannya, bahkan untuk menjeritpun dia tidak bisa. Tubuhnya telah aku ikat dan mulutnya aku sumpal. Aku melakukan semuanya dengan sangat pelan dan hikmat …!
“Kadang, aku harus menggoreskan belati di tanganku dengan sangat lembut, untuk menciptakan suasana dramatis seperti yang aku inginkan. Aku memang ingin melenyapkan seluruh keluarga yang dia cintai, walaupun aku meragukan, apakah sebenarnya dia betul-betul mencintai orang-orang tersebut, karena aku tidak pernah percaya bahwa dia memiliki perasaan seperti itu ….!
“Kemudian … setelah aku membunuh mereka semua, aku mendekati dia yang terikat dan meringkuk di sudut kamar. Aku mentertawakan ketidak berdayaannya, aku meludahi tangisannya!
“Selanjutnya ….. aku menebas kedua kakinya hingga putus. Darah mengalir membanjiri lantai….
“Dan kalian tahu … ?
“Dia tak bisa menjerit melepaskan rasa sakit yang dideritanya! Bahkan untuk berkelojotanpun, dia tidak mampu. Aku melihat ketersiksaan yang amat sangat dari matanya yang sampai-sampai mengalirkan darah! Sejenak aku nikmati rasa puasku sebelum aku meninggalkan dia dalam keadaan bersimbah darah bersama mayat-mayat itu.
“Dia harus hidup, supaya dia dapat merasakan penderitaan lain yang lebih dahsyat lagi!”
Laki-laki itu kembali duduk. Sebentar dia terbatuk.
“Aku tidak pernah berniat untuk melarikan diri…. Aku hanya pergi ke makam ibuku untuk memohon ampunan. Karena selama beliau hidup, aku tidak pernah mematuhi nasihatnya untuk segera menjauh dari orang itu. Aku telah menyakiti hati ibuku dan aku ingin memohon ampunan darinya.”
Jauh di luar sana, beberapa helai daun jatuh tertiup sepoi angin. Anak-anak berlarian ke dalam dekapan bunda. Mereka mengurai kasih sambil merebahkan kepala ke dada bunda. Tanah masih menyisakan aroma basah, bekas guyuran hujan semalam.
“Sekarang terserah hakim untuk memberikan vonis kepada saya!
“Saya sudah siap!!
“Karena itulah saya tidak membutuhkan jasa seorang pembela. Saya sudah menuntaskan keinginan saya. Bahkan vonis mati sekalipun, akan saya terima. Sekarang ini, kehidupan saya sudah berakhir, bahkan sebenarnya, hidup saya sudah selesai ketika saya menderita kangker otak. Tapi Tuhan masih memberikan kesempatan, untuk menuntaskan semua keinginan saya. Saya bersyukur karena tidak mati dengan penasaran…….
“Saya telah menceritakan semua, karena saya bukan seorang pengecut yang setiap saat sembunyi di kolong-kolong tempat tidur. Saya bukan seorang pengecut yang selalu berlari sambil memamerkan pantat busuknya!
“Saya tidak butuh penilaian kalian. Saya siap berhadapan dengan regu tembak! Biarlah kalian mencela dan meludahi kuburan saya. Tapi perlu kalian semua catat! Orang baik sekalipun, bisa melakukan kekejaman yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Dia bisa melakukan penyiksaan mengerikan, lebih dari yang pernah kalian pikirkan.”
Beberapa saat lamanya, tak ada yang mampu berkata-kata, bahkan hakim sekalipun terdiam. Hanya matanya saja yang terus menatap ke arah laki-laki yang duduk di kursi terdakwa. Laki-laki itu kembali menyulut sebatang rokok. Ruangan sidang menjadi senyap. Laki-laki itu menikmati rokok kesukaannya seakan dia sedang berada di suatu taman yang indah, penuh dengan pepohonan hijau dan bunga warna warni. Dia terlihat sangat tentram di sana.
Gerimis kembali mengguyur. Tidak begitu deras, tapi cukup membuat hari itu menjadi dingin. Beberapa anak berlarian di bawah guyuran air yang jatuh dari ketinggian langit. Mereka telanjang menari di atas tanah yang mulai berubah menjadi becek, suara kecipak air menyatu dengan canda riang mereka. Kehidupan masih terus bergerak. Hanya saja apakah anak-anak itu akan tetap tumbuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Tak ada yang tahu. Tak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi di masa datang, karena semuanya berlomba memberikan torehan pada perjalanan waktu. Semua menjadi carut marut.
***
Di sebuah kamar, sesosok tubuh dengan kedua kaki buntung terus memperhatikan jalannya persidangan seorang pembunuh dari sebuah pesawat televisi. Pipinya telah basah oleh air mata. Dia memperhatikan laki-laki yang duduk di kursi terdakwa. Hatinya tersayat melihat wajah itu. Wajah yang dulu selalu memberikan senyuman hangat. Walaupun terlihat begitu tenang, tapi dia tahu seberapa besar derita dan rasa sakit yang terpancar dari baliknya. Dia melihat tubuh itu telah menjadi kurus, bahkan sangat kurus. Dia berfikir seharusnya dia yang duduk di sana. Air mata semakin deras mengalir dari kedua matanya yang bening. Mata teduh itu kini menjadi sangat sembab.
Kalimat lirih terucap dari bibirnya,
“Saat ini, aku telah mencintaimu …..”
Sosok tubuh dengan kaki buntung itu tak lagi dapat meneruskan ucapannya. Kesedihan telah mengambil alih kekuatannya. Tangis semakin deras mengalir dari matanya yang terus terpaku pada terdakwa pembunuh yang terlihat sedang menikmati sebatang rokok. Rokok yang masih seperti dulu, rokok yang selalu memberikan aroma pada setiap hari-harinya. Segalanya masih terasa dekat di pelupuk mata, bahkan sangat dekat.
Langit semakin gelap oleh mendung, hujan bertambah deras. Petir dan guntur memecah perjalanan waktu. Jalanan menjadi sunyi, orang-orang berdiam di dalam rumah. Mereka mencari kehangatan di bawah selimut tebal. Beberapa orang tua masih sempat bercerita kepada anak-anaknya tentang kupu-kupu indah. Mereka tak perduli walaupun saat ini, anak-anak mereka telah jarang menemukan kupu-kupu yang beterbangan di halaman rumah. Memang semua telah berubah. Beberapa orang tua menitikkan air mata ketika bercerita, sedang anak-anak mendengar sambil mengimajinasikan keindahan cerita tersebut, karena mereka menganggap bahwa itu hanya sebuah dongeng, dan dongeng hanyalah rekaan dari sebuah hayalan.
***
Beberapa hari setelah persidangan. Di topik utama setiap media massa menampilkan berita tentang telah meninggalnya seorang pembunuh sadis, pembunuh itu meninggal dunia sebelum sempat dieksekusi mati. Dia meninggal karena kangker otak yang telah terlalu parah. Tak ada yang bersedia mengaku sebagai keluarga pembunuh itu. Tak ada tangisan kesedihan yang mengiringi prosesi pemakamannya. Sunyi menyelimuti.
Namun beberapa waktu kemudian, sesosok tubuh dengan kaki buntung datang ke makam pembunuh tersebut. Dia berjalan pelan dengan tangan yang penuh kapal karena jauh jarak yang telah di tempuh. Sejenak dia terdiam di atas pusara itu, lalu dia membelai batu nisan dengan penuh kasih sayang, kemudian menaburkan bunga-bunga yang harumnya memudarkan kesunyian.
“ Aku tidak akan meninggalkanmu lagi sayang, aku akan menjagamu. Jangan takut lagi, tak akan kubiarkan engkau kedinginan di dalam sana…..”
TAMAT
Senin, 05 Desember 2011
"PENGAKUAN SEORANG PEMBUNUH" CERPEN KARYA YESUDHAS
PERHATIAN
=================================================
Trading di pasar Forex melibatkan resiko yang tinggi, termasuk kemungkinan kehilangan dana secara total dan kerugian lainnya, yang tidak cocok untuk semua anggota.
Klien harus memiliki pertimbangan yang baik tentang apakah trading sesuai untuk anda / anda mengingat nya / kondisi finansial, pengalaman investasi, toleransi resiko, dan faktor lainnya.
=================================================